Suatu saat di Lodji Ketjil Wetan (“Cephas Street”),
derap langkah kaki kuda mengiringi seseorang yang terlahir mempunyai talenta
sebagai penggambar realitas, ia hadir di mana fotografi menjadi sebuah fenomena
tersendiri. Kehidupan dan hari-harinya berbeda dengan pribumi kebanyakan, ia
adalah seorang juru kamera, pembeda inilah yang membuat “jalan
Cephas” ikut mewarnai sejarah fotografi Indonesia. Kassian Cephas
(1845-1912), ia
menggambarkan Ngayogyakarta
menggambarkan Ngayogyakarta
dan sekitarnya termasuk Prambanan
dan Borobudur sedemikian nyata, hitam putihnya Hindia Belanda saat itu
membayangi Kraton Yogyakarta sebagai sebuah kerajaan yang berdaulat. Cephas
adalah fotografer resmi Kraton Yogyakarta pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana
VII.
Naturalisasi menjadi pilihan
Cephas, kesejajaran membuatnya diterima oleh Belanda. Lodji Ketjil menjadi
saksi sejarah, bagaimana ia tinggal dan bergaul dengan orang-orang Eropa
lainnya. Hukum Eropalah yang membuatnya sah dan sejajar, iapun harus menikah
untuk kedua-kali (ulang) dengan istrinya. Hak istimewa yang dimiliki Cephas dan
dengan kemampuan fotografinya yang saat itu masih langka dan mewah, ia hadir
dalam konstelasi sejarah kebudayaan yang masih terbalut masa kolonial. Hingga akhirnya
ratu Wilhelmina menganugerahkan the gold medal of
Orange-Nassau.
Lalu mengapa ia pada akhirnya
memutuskan untuk tinggal di Musikanan dan mengabdikan dirinya sebagai wedana?
Setelah “kepergiannya” pada 16 Desember 1912, Cephas masih menyisakan banyak
misteri, rekaman visual tentang “Cephas” hadir dalam hitam-putihnya sejarah
kehidupan yang penuh dengan tanda tanya.
*begitu terkenalnya Cephas saat itu, Lodji Ketjil Wetan, sekarang Mayor Suryotomo juga dikenal dengan “Cephas street”. [Cahyadi Dewanto]
No comments:
Post a Comment