Monday, August 27, 2012

Jejak-jejak Kassian Cephas


Suatu saat di Lodji Ketjil Wetan (“Cephas Street”), derap langkah kaki kuda mengiringi seseorang yang terlahir mempunyai talenta sebagai penggambar realitas, ia hadir di mana fotografi menjadi sebuah fenomena tersendiri. Kehidupan dan hari-harinya berbeda dengan pribumi kebanyakan, ia adalah seorang juru kamera, pembeda inilah yang membuat “jalan Cephas” ikut mewarnai sejarah fotografi Indonesia. Kassian Cephas (1845-1912), ia
menggambarkan Ngayogyakarta
dan sekitarnya termasuk Prambanan dan Borobudur sedemikian nyata, hitam putihnya Hindia Belanda saat itu membayangi Kraton Yogyakarta sebagai sebuah kerajaan yang berdaulat. Cephas adalah fotografer resmi Kraton Yogyakarta pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana VII.
     Naturalisasi menjadi pilihan Cephas, kesejajaran membuatnya diterima oleh Belanda. Lodji Ketjil menjadi saksi sejarah, bagaimana ia tinggal dan bergaul dengan orang-orang Eropa lainnya. Hukum Eropalah yang membuatnya sah dan sejajar, iapun harus menikah untuk kedua-kali (ulang) dengan istrinya. Hak istimewa yang dimiliki Cephas dan dengan kemampuan fotografinya yang saat itu masih langka dan mewah, ia hadir dalam konstelasi sejarah kebudayaan yang masih terbalut masa kolonial. Hingga akhirnya ratu Wilhelmina menganugerahkan the gold medal of Orange-Nassau.
     Lalu mengapa ia pada akhirnya memutuskan untuk tinggal di Musikanan dan mengabdikan dirinya sebagai wedana? Setelah “kepergiannya” pada 16 Desember 1912, Cephas masih menyisakan banyak misteri, rekaman visual tentang “Cephas” hadir dalam hitam-putihnya sejarah kehidupan yang penuh dengan tanda tanya.

*begitu terkenalnya Cephas saat itu,
 Lodji Ketjil Wetan, sekarang Mayor Suryotomo juga dikenal dengan “Cephas street”. [Cahyadi Dewanto]

No comments:

Post a Comment